Tampilkan postingan dengan label Edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Edukasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 November 2008

Menyekutukan Teknologi dan Lingkungan

By : Andreas Ambar Purwanto.
Sepanjang teknologi lingkungan tak dikuasai dengan baik, masalah lingkungan akan tetap terpinggirkan. Tanpa penguasaan dan penerapan teknologi, masalah lingkungan akan tetap menjadi faktor beban biaya yang tak kecil.  
Sekitar 26 tahun yang lalu, EF Schumacher menerbitkan sebuah booklet berjudul ''The Age of Plenty, A Christian View'' (The Saint Andrew Press, Edinburgh: 1974). Buku kecil ini memuat kritik Schumacher terhadap kemakmuran eksploitasi, bukan saja terhadap manusia, tetapi terlebih lagi terhadap alam. Sebagaimana pandangan para pemikir lain yang selalu kritis terhadap kemajuan iptek, Schumacher mengemukakan, teknologi dan industri harus ''mengabdi'' kepada kelangsungan kehidupan manusia dan alam.
Memanglah, hingga kini, kemampuan teknologi dalam memecahkan masalah produksi mencatat tahap ''keajaiban''. Percakapan di seputar kloning yang beberapa waktu lalu ramai bergulir di media massa, adalah contoh nyata ''keajaiban'' itu. Namun patut digarisbawahi, tak mudah pula menutup-nutupi kengerian yang mengiringinya: ia menjadikan manusia sekadar benda yang boleh diutak-atik dan dikontrol, dan juga ''kejam'' terhadap alam karena, antara lain, memanfaatkan ratusan atau bahkan mungkin ribuan binatang sebagai kelinci percobaan.

Dalam hal perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi kelihatannya terdapat hal yang kontradiktif. Awalnya teknologi diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, mempermudah segala aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia dan memelihara kondisi lingkungan sekitar agar tetap dapat memberikan sumber daya yang memadai bagi kelangsungan hidup umat manusia. Namun, dalam perkembangan teknologi justru menjadi pemicu pertama penurunan kualitas lingkungan dengan sangat drastis. Penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan industrialisasi sejak masa awal revolusi industri, memicu penggunaannya secara besar-besaran hingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan penipisan sumber daya alam bagi generasi berikut. Kalau sebelum muncul masyarakat industri, hampir 80 persen benda yang digunakan manusia berasal dari hewan dan 20 persen dari mineral, industrialisasi mengubah kecenderungan itu. Ia mulai terpusat pada cadangan bumi berupa energi dan material tak terbarui, seperti bahan baku fosil dan mineral. Di sinilah kapitalisme industrial mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat pada lingkungan, sehingga pada abad ke-19, Inggris telah menjadi ''bengkel dunia''. Tidak selesai sampai di situ, asap dan buangan pabrik meracuni udara, air, dan tanah. Dan bahan-bahan kimia yang dibuang ke lingkungan berdampak berat bagi pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Akibat lain revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah, dan menyingkirkan petani ke belakang. Sementara itu, populasi membengkak, teknologi menguasai lingkungan, dan kekayaan material meningkat. Imbalannya?Kerusakan alam yang terus memburuk kondisinya.
Begitulah, pada masanya seakan-akan laju perkembangan teknologi tak pernah bisa berjalan beriringan dengan keperdulian pada lingkungan hidup.
Namun, seiring dengan makin menguatnya keperdulian global pada masa depan bumi, telah membawa pergeseran paradigma dalam hubungan teknologi dan lingkungan hidup. Awalnya adalah seorang biolog Amerika, Barry Commoner yang di tahun 1962 mengingatkan resiko makin meningkatnya polusi. Menurut Barry, mata rantai ekologi terputus akibat industri dan digantikannya produk alami dengan bahan sintetis. Sejak itu pula (1962-1970-an), banyak kalangan termasuk industriawan berusaha ramah dengan lingkungan. Kemudian muncul kebutuhan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menjaga tingkat keberlanjutan lingkungan beserta dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Teknologi tidak lagi melulu dilihat sebagai alat eksploitasi, tetapi lebih sebagai alat pemeliharaan lingkungan beserta dengan sumber dayanya agar kehidupan umat manusia dan lingkungan alam dapat berkelanjutan. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan seraya meningkatkan kualitas hidup dan memelihara kemampuan bersaing, memerlukan perubahan teknologi. Pada umumnya teknologi baru ini lebih efisien. Artinya, teknologi ini memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi, per satuan output, serta kurang mencemari dibandingkan teknologi lama yang digantikannya. Singkatnya, telah tumbuh perubahan orientasi pembangunan dengan teknologi baru berwawasan lingkungan. Dalam pembangunan berwawasan lingkungan, muncul semboyan: produce more with less resources, with less energy and with less waste. Salah satunya tampat lewat didirikannya Pusat Teknologi Lingkungan Hidup Asia-Eropa. Pusat ini menyatukan pemakai dan pemasok dalam bidang riset dan teknologi lingkungan hidup. Pusat ini akan bekerja dalam masalah-masalah lingkungan hidup terpenting yang kita hadapi, misalnya masalah kota besar dan teknik untuk membersihkan polusi.
Perkembangan ini mengikis pendekatan tradisional dalam memandang hubungan industri dengan teknologi. Pendekatan tradisional melihat bahwa industri mengakibatkan masalah lingkungan dan mencoba mencari jalan keluar yang bertanggung jawab untuk meminimalkan kerusakan yang dapat diakibatkan. Sebaliknya, pendekatan yang didasarkan pada teknologi yang bersih seharusnya mencari cara proses produksi yang dapat meniadakan atau mengurangi masalah yang mungkin terjadi sejak awal, sebelum permasalahan yang berkaitan dengan masalah lingkungan muncul. Misalnya, lewat pendekatan minimalisasi limbah dan ''dematerialisasi'', dengan kata lain telah terjadi pergeseran dari pengendali polusi ke pencegahan polusi. Pengendali polusi berarti membersihkan limbah setelah limbah tersebut terbentuk sebagai sisa proses produksi. Sedang pencegahan polusi memfokuskan diri pada peminimalan atau penghindaran dari limbah sebelum limbah tersebut tercipta. Peningkatan teknologi membuat ekosistem secara alami menjadi lingkungan hidup buatan (manmade environment). Teknologi akan merombak lingkungan dengan limbah. Jasad renik tidak mampu lagi mendekomposisi limbah dalam ekosistem. Limbah diemisi dari sistem daur ulang dan terjadilah tragedi polusi udara, tanah, air dan seluruh ekosistem. Ekosistem alami akan menyerapnya kembali, namun manmade environment tidak mampu. Namun, dalam dekade terakhir ini, bioteknologi berhasil menemukan dekomposer yang lebih cepat, sehingga teknologi inilah yang perlu kita kembangkan lebih lanjut, agar keseimbangan ekosistem terkoreksi dan kualitas hidup manusia tertolong.
Keharusan meningkatkan penguasaan teknologi lingkungan itu tak terbatas pada teknologi pengolahan limbah dan penerapan proses daur ulang. Tapi juga mencakup penguasaan teknologi rekayasa, dari proses produksi hingga teknologi pabrikasi suatu industri yang diandalkan. Bagi kita di Indonesia, ini jelas sangat penting karena selama ini hampir seluruh industri di sini adalah hasil turn key, khususnya pada jenis industri kimia. Salah satu bukti penguasaan dan penerapan teknologi lingkungan yang dapat mengubah faktor cost menjadi benefit tak harus selalu berupa rekayasa teknologi canggih. Beberapa dapat berupa teknologi tepat guna. Namun jelas membuktikan penguasaan teknologi lingkungan dapat mengubah pengertian yang selama ini berkembang, yakni faktor kepentingan lingkungan identik dengan tambahan biaya.
Sayangnya, untuk kasus Indonesia, kebutuhan untuk mengubah sistem teknologi sangat lambat dipahami oleh industriawan kita. Pemahaman tentang pentingnya mempertahankan kualitas lingkungan yang baik, terasa kurang dipahami oleh kaum industrialis kita. Mereka kebanyakan tetap lebih suka being trader. Sebagai pedagangan mereka umumnya tidak mau mengembangkan teknologi berwawasan lingkungan. Karena tanpa melakukan itu pun, mereka merasa tetap mendapat untung, walau harus dengan jalan merusak lingkungan. Namun kemudian, akibat perubahan permintaan pasar yang lebih tanggap terhadap lingkungan, perkembangan teknologi yang memungkinkan terciptanya teknologi yang lebih tanggap lingkungan dan semakin berkurangnya input bahan baku (sumber daya) yang memadai untuk melakukan sistem produksi dengan cara lama yang boros (tidak tanggap lingkungan). Dengan teknologi yang dimiliki, suatu institusi dalam tingkatan apa pun bisa mencari atau menciptakan produk yang lebih baik dalam arti lebih tanggap terhadap lingkungan. Memperpendek jalur distribusi juga dapat meningkatkan efisiensi dan pengurangan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan serta meningkatkan kualitas, pesan dan tampilan produk, yang amat berguna bagi aspek pemasaran produk atau perusahaan.
Menurut hukum ekonomi, penguasaan teknologi lingkungan yang harus menjadi bagian terintegrasi dalam menjalankan kebijakan pelestarian lingkungan tersebut, benar-benar dapat dibuktikan secara ilmiah. Coba saja amati, dengan penerapan teknologi maka faktor kualitas dan harga pasti akan meningkat. Ini berarti akan tetap bisa mempertahankan nilai keuntungan walaupun suatu kegiatan industri itu harus dibebani pula dengan biaya pengolahan limbahnya. Dengan penerapan teknologi lingkungan, akan didapat pula peningkatan kualitas produksi. Karenanya, penerapan kebijakan mengintegrasikan penerapan teknologi lingkungan akan menjamin pula meningkatkan kemampuan pebisnis Indonesia dalam menerobos pasar ekspor. Misalnya, dengan menerapkan teknologi pada sektor industri kehutanan akan dicapai standarisasi kualitas berdasar ecolabelling dan ISO 14001 yang dapat menjamin sukses menerobos pasar dunia.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 01 November 2008

Pengayaan Informasi atau Pembentukan Karakter?

Oleh: Fotarisman Zaluchu
Belajar, sering sekali dikonstruksikan dalam perjalanan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang formal, terstruktur dan terikat dalam sistem-sistem. Akibatnya, orientasi subjek belajar berada dalam sirkulasi yang tidak putus: sekolah, gelar, kerja; demikian seterusnya. Bahkan konstruksi sosio-budaya masyarakat juga turut menciptakan peranan membentuk "mitos-mitos" soal keberhasilan, kesuksesan, dan kemapaman. Mitos ini ditransfer secara formal melalui pola pengembangan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, dan secara informal dibentuk dan ditransfer melalui apa yang disebut sebagai nasihat dan ajaran orangtua atau lingkungan berada.
Bagaimanapun, perkembangan dunia yang semakin beragam dan penuh dengan kemajuan ini dipersepsikan dan diformat menjadi lahan yang memerlukan mereka yang "bersekolah", "bergelar", atau yang "bekerja", menjadi faktor pendukung yang secara sistematis melanggengkan pembentukan para calon-calon kapitalis intelektual-seperti disebutkan dalam sebuah buku yang menggugat peran pendidikan. Akibatnya dapat kita lihat: koruptor-koruptor nomor wahid adalah mereka yang pernah mengecap pendidikan, perusak lingkungan adalah mereka yang justru berasal dari dunia pendidikan, para materialis-kapitalis adalah warga pendidikan yang mengetahui peluang usaha, dan seterusnya, sampai akhirnya kita tahu bahwa pendidikan (baca: sekolah) justru menghasilkan "manusia-manusia" aneh yang tidak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban yang lebih bermoral.
Membangun peradaban yang lebih manusiawi dan berorientasi untuk meninggikan harkat-martabat manusia pada posisi yang elegan, terhormat dan human being, adalah tujuan sebenarnya dari belajar. Sebagai subjek belajar, manusia seharusnya mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan berarti, dalam belajar. Dan untuk itu, belajar tidak identik dengan buku, kertas kerja, laporan, sekolah dan hal lain yang baku, tetapi lebih kepada pengalaman.


Idealkah? Jawabnya bisa optimistik bisa pula pesimistik. Tetapi ini adalah tantangan baru ketika kita melihat gagalnya pendidikan (dan prosesnya) selama ini. Kita gagal memperbaiki dunia karena dunia semakin memburuk secara sosio-politik-ekonomik; kita gagal memperbaiki peradaban karena dunia semakin kacau dan kejam; kita tidak menemukan kaum terdidik yang bermoral karena kerusakan sistem justru dimulai oleh kaum terdidik; kita gagal membangun sistem pendidikan yang human oriented karena kita hanya membangun manusia-manusia mekanis dan kaku; Maka kita perlu membangun suatu conter culture. Kita harus "melompat" ke suatu pemikiran yang menempatkan manusia pada posisi yang sebenarnya (the real track). 
Dr. J. Verkuyl--seorang tokoh pendidikan--mengatakan bahwa belajar dan prosesnya sebenarnya tidaklah semata-mata hanya semakin menambah pengetahuan dan informasi. Tidak cukup dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tahu menjadi lebih tahu. Bahkan dunia hewan pun mengenal proses demikian. Manusia, berbeda jauh. Ia mengatakan bahwa ketika proses belajar terjadi, manusia--sebagai pembelajar--harus mengalami perubahan yang lebih menunjukkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang unik : pembentukan karakter. 
Belajar, berarti masuk ke dalam "dunia" yang khas, dimana seharusnya seseorang menjadikan apa yang dibaca, apa yang dialami, dimengerti, dianalisis, dikonfirmasikan, dan dipahami, menjadi nilai-nilai baru yang digunakan untuk perubahan perilaku. Bacaan, bahkan tumpukan buku--dan terlebih pengalaman-pengalaman dalam kehidupan--adalah "belajar" yang sesungguhnya, disediakan untuk menjadikan manusia itu lebih bernilai. Bernilai dan dihargai sebagai manusia yang berkarakter sebagai manusia. Ke sanalah seharusnya belajar itu diarahkan. Belajar, baik dengan apa yang tertulis dan yang tidak tertulis-berarti menjadikannya hidup-dilakukan, dan tidak terbatas dalam informasi. Pengetahuan seharusnya berjalan sejajar dengan perubahan hidup. Pengetahuan mengenai kehidupan harus berbenturan dengan nilai-nilai yang ada dan menguatkan pemahaman mengenai apa yang lebih benar. Dan untuk itu perlu latihan belajar yang terus menerus (on going process) dan sungguh-sungguh, sebab semuanya ini permasalahan mengenai kehidupan. 
Ketika semua-masing-masing pembelajar--mengetahui bahwa sedemikian dalamlah pengertian belajar ini harus dicapai, maka mereka akan masuk dalam suatu komunitas peradaban yang baru. Komunitas yang sepakat bahwa penghargaan atas harkat dan martabat manusia dijamin akan dijaga dan dikembangkan sedemikian rupa. Komunitas yang menghargai nilai-nilai luhur manusia dan membangun karakter manusia sesuai dengan apa yang seharusnya. 
Oleh karenanya, diperlukan suatu paradigma baru dalam memandang semuanya ini (baca: belajar). Dan diperlukan suatu ambisi baru untuk mewujudkan semuanya ini. Kita membutuhkan para relawan-relawan yang hadir dan membangun counter culture (meminjam istilah John Stott) terhadap peradaban yang semakin jauh dari penghargaan terhadap diri, masyarakat dan bangsa. Kita juga membutuhkan suatu tekanan dan sistem sosial yang kondusif bagi proses pembelajaran ini. Kita butuh suatu komitmen serta political will dari lebih banyak elemen di masyarakat untuk mendukung perubahan progresiv ini. Dan terlebih lagi, kita membutuhkan lebih banyak orang lagi untuk membangun suatu aliansi bersama dan bergandengan tangan membangun peradaban. 
*) Fotarisman Zaluchu, alumni FKM USU dan alumni Program Pascasaraja USU. Bekerja sebagai peneliti dan trainer komunikasi interpersonal di Medan.


Baca Selengkapnya...

Logika Bengkok

Oleh AM Lilik Agung
Media Indonesia - Komunikasi Bisnis
SEORANG kawan bernama Andrias Harefa dalam berbagai forum sangat suka menyitir pendapat Larry Ellison. Larry, bos Oracle, pada bulan September 2000 diundang oleh Yale University untuk memberi sambutan wisuda sarjana. Kata Larry, seperti disitir Harefa ``Saya berbicara di forum ini bukan untuk Bapak-Ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Atau kepada mahasiswa-mahasiswa yang duduk di depan saya. Saya berbicara untuk mahasiswa yang berdiri di ujung sana.`` Bapak-Ibu yang dimaksud Larry adalah para guru besar Universitas Yale. Sedang mahasiswa yang tepat di depannya adalah mahasiswa yang hendak diwisuda. Sedangkan kerumunan mahasiswa yang berdiri di ruang belakang merupakan mahasiswa yang masih kuliah.
``Universitas adalah lembaga yang membunuh kreativitas secara sistematik. Kalau Anda ingin sukses, cepat tinggalkan bangku kuliah. Belajarlah sendiri. Lahaplah buku-buku. Otak-atiklah ilmu pengetahuan. Jangan kuliah!`` kata Larry Ellison mantap. ``Dan Anda yang mau diwisuda, gaji Anda besok tidak lebih dari US$200.000. Lebih dari itu, yang menggaji Anda adalah orang-orang yang drop out kuliah.``
``Saya tidak sedang membual. Tapi lihatlah fakta. Siapa orang yang paling kaya sedunia? Bill Gates. Dia drop out kuliah. Yang terkaya nomor dua? Saya, Larry Ellison. Saya juga tidak lulus kuliah. Terkaya ketiga? Paul Allen, manusia yang tidak jelas kuliahnya. Terkaya keempat? Michael Dell. Apakah Dell lulus kuliah? Tidak. Jadi kalau ingin sukses, jangan kuliah!`` Gemparlah Universitas Yale dan jagat pendidikan tinggi seluruh dunia lantaran ucapan Larry.


Bill Gates, Larry Ellison, Paul Allen, Michael Dell memang manusia-manusia fenomenal. Dalam usia yang belum genap 40, mereka sudah menjadi orang-orang terkaya dunia. Kekayaan Bill Gates ditaksir sebesasr US$53 miliar, Larry Ellison US$52,1 miliar, sedangkan Paul Allen dan Michael Dell tak jauh dari US$50 miliar. Mereka manusia yang tak lulus kuliah. Namun perusahaan milik mereka banyak mempekerjakan manusia-manusia terbaik lulusan universitas terbaik. Apakah sukses bisnis harus dilalui dengan jalan drop out kuliah?
Sukses bisnis memang tidak selalu ekuivalen dengan sukses pendidikan. Banyak orang yang terbatas pendidikannya, namun sukses berbisnis. Lantas bukan berarti kalau ingin sukses berbisnis harus berhenti kuliah. Pernyataan Larry Ellison memang terlalu provokatif. Benar dia dan kawan-kawannya tidak lulus kuliah. Namun harus pula diingat, hampir seluruh program dan teknologi yang dipakai perusahaan mereka hasil riset universitas terkemuka di Amerika, terutama MIT University.
Di sisi lain banyak kepongahan dilakukan lembaga pendidikan tinggi dalam menyikapi perkembangan bisnis mutakhir. Salah satu kepongahan itu ditunjukkan dengan ketertinggalannya kurikulum pendidikan tinggi beserta buku-buku literatur yang nyaris masih terpukau pada kondisi bisnis tahun 80-an. Demikian pula dengan para pengajarnya yang lebih suka konsep-konsep lama bisnis ketimbang mempelajari apalagi mencipta konsep-konsep bisnis baru. Akibat kepongahan lembaga pendidikan tinggi, hasil akhir bernama manusia sarjana ikut-ikutan pongah.
Gelar akademis yang disandangnya seakan-akan menjadi jaminan utama untuk sukses mengelola bisnis. Padahal, berapa banyak manusia bergelar sarjana ekonomi manajemen yang mampu menjadi manajer andal?
Kritikan Larry Ellison terhadap kualitas pendidikan tinggi memang pantas dicermati. Namun anjuran Larry agar meninggalkan bangku kuliah, patut ditanggalkan. Bangku kuliah, walaupun kedodoran mengejar kemajuan peradaban, masih memberikan kepada peserta didiknya untuk berpikir metodis, rasional, dan terstruktur. Berpikir metodis, rasional, dan terstruktur, hal demikian yang kini dijalankan oleh pelaku-pelaku bisnis sukses. Apalagi dengan ikut `campur tangannya` teknologi informasi di dalam bisnis yang menuntut berpikir rasional.
Larry Ellison yang tinggal di Amerika mengkritik sistem pendidikan bisnis di Amerika, walaupun pendidikan bisnis terbaik di bumi ini tetap Amerika. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kritikan Larry Ellison bila melihat sistem pendidikan bisnis di negeri kita. Dengan uang Rp 5 juta, kita dapat menyandang gelar MBA. Ditambah uang Rp 10 juta lagi, di depan nama kita tertempel gelar Dr. Sebuah jual-beli gelar yang kita yakini tidak ada dalam ilmu marketing mana pun.
Proses jual-beli memang lazim dalam kehidupan ini. Namun menjadi tidak lazim manakala produk dalam jual-beli ini berupa gelar. Terlebih lagi gelar-gelar tersebut berada dalam wilayah bisnis. Master of Business Administration (MBA) dan Magister Management (MM) merupakan gelar prestisius yang diharapkan penyandangnya mampu mengelola organisasi bisnis. Dalam kurikulum MBA dan MM tidak saja diajarkan strategi bisnis, tapi juga etika bisnis sehingga kelak bisnis yang ditangani etis dan profesional.
Logika bengkok sekarang banyak dipakai oleh manajer bisnis. Mereka ingin disebut profesional, sementara gelar-gelar yang disandangnya tidak profesional. Mereka ingin dipandang sebagai manusia terhormat, sementara tempelan gelarnya diperoleh tidak dengan cara terhormat. Mereka ingin disanjung sebagai manajer beretika, sementara gelar-gelarnya jauh dari prinsip-prinsip etika akademik.
Gelar yang merupakan buah dari proses pendidikan, sekali lagi, tidak ekuivalen dengan kesuksesan bisnis. Alangkah malangnya manajer-manajer yang sekarang berburu gelar, sementara cara berburunya tidak lazim. Lebih malang lagi bila gelarnya dengan bangga ditempel di kartu namanya, sementara cara kerjanya jauh dari sikap-sikap profesional.
Profesionalisme bisnis tidak diukur dengan berderet-deret gelar yang tertempel di namanya. Profesionalisme bisnis ukurannya sederhana; mampu membuat untung perusahaan, meningkatkan kesejahteraan karyawan, bertanggung jawab sosial, ikut memajukan negara yang semua itu dibingkai melalui cara kerja etis. Titik!
*)Penulis adalah praktisi bisnis, mitra Institut Darma Mahardika, beralamat di www.mahardika21.com


Baca Selengkapnya...