Sabtu, 01 November 2008

Apa Hacker Itu?

Dalam Jargon File tercantum berbagai definisi untuk istilah 'hacker', hampir semuanya berkaitan dengan kemahiran teknis serta kegemaran menyelesaikan masalah dan mengatasi keterbatasan. Namun jika ingin menjadi seorang hacker, hanya ada dua definisi yang relevan. Terdapat komunitas, budaya bersama, terdiri dari para programer mahir dan ahli jaringan, yang sejarahnya bermula dari dekade minikomputer pertama yang memiliki time-sharing dan zaman eksperimen awal ARPAnet. Dari anggota budaya inilah muncul istilah 'hacker'. Hacker yang membangun internet. Hacker yang membuat sistem operasi Unix menjadi seperti sekarang. Hacker yang mengoperasikan Usenet. Hacker yang membuat World Wide Web berjalan. Jika Anda bagian dari budaya ini, jika Anda telah menyumbangkan sesuatu untuk budaya ini, dan rekan lain di dalamnya mengenali Anda sebagai seorang hacker, maka seorang hackerlah Anda. Cara pikir hacker tidak terbatas pada budaya hacker software. Ada orang yang menerapkan sikap hacker pada banyak bidang lain, elektronik atau musik -- bahkan, cara pikir hacker ada di tingkat tertinggi setiap bidang ilmu dan seni. Hacker software mengakui semangat serupa ini dan bisa menyebut orang-orang tersebut hacker pula -- dan sebagian berpendapat bahwa sifat seorang hacker tidak bergantung pada wadah tempatnya bekerja. Tapi, untuk selanjutnya, kita akan memusatkan perhatian pada software hacker, keahlian dan sikap mereka, serta tradisi budaya bersama yang melahirkan istilah ‘hacker’. Terdapat pula kelompok lain yang menyebut-nyebut diri hacker, padahal bukan.


Mereka-mereka ini (terutama para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat membobol komputer dan mengakali telepon (phreaking). Hacker sejati menyebut orang-orang ini 'cracker' dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas. Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi hacker, sama seperti jika dikatakan bahwa mengontakkan mobil membuat seseorang langsung menjadi ahli mesin. Sayangnya, wartawan dan penulis telah salah kaprah dan menggunakan kata 'hacker' untuk melukiskan cracker; bagi hacker ini merupakan pangkal jengkel tanpa ujung.
Perbedaan mendasar antara hacker dan cracker: hacker membangun, cracker membongkar. Jika Anda ingin menjadi hacker, lanjutkan membaca. Jika ingin menjadi cracker, kunjungi newsgroup alt.2600 dan bersiaplah menghabiskan lima sampai sepuluh tahun di balik jeruji setelah mengetahui bahwa Anda ternyata tidak sepandai yang Anda kira. Hanya itu yang perlu dikatakan tentang cracker.


Baca Selengkapnya...

Pengayaan Informasi atau Pembentukan Karakter?

Oleh: Fotarisman Zaluchu
Belajar, sering sekali dikonstruksikan dalam perjalanan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang formal, terstruktur dan terikat dalam sistem-sistem. Akibatnya, orientasi subjek belajar berada dalam sirkulasi yang tidak putus: sekolah, gelar, kerja; demikian seterusnya. Bahkan konstruksi sosio-budaya masyarakat juga turut menciptakan peranan membentuk "mitos-mitos" soal keberhasilan, kesuksesan, dan kemapaman. Mitos ini ditransfer secara formal melalui pola pengembangan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, dan secara informal dibentuk dan ditransfer melalui apa yang disebut sebagai nasihat dan ajaran orangtua atau lingkungan berada.
Bagaimanapun, perkembangan dunia yang semakin beragam dan penuh dengan kemajuan ini dipersepsikan dan diformat menjadi lahan yang memerlukan mereka yang "bersekolah", "bergelar", atau yang "bekerja", menjadi faktor pendukung yang secara sistematis melanggengkan pembentukan para calon-calon kapitalis intelektual-seperti disebutkan dalam sebuah buku yang menggugat peran pendidikan. Akibatnya dapat kita lihat: koruptor-koruptor nomor wahid adalah mereka yang pernah mengecap pendidikan, perusak lingkungan adalah mereka yang justru berasal dari dunia pendidikan, para materialis-kapitalis adalah warga pendidikan yang mengetahui peluang usaha, dan seterusnya, sampai akhirnya kita tahu bahwa pendidikan (baca: sekolah) justru menghasilkan "manusia-manusia" aneh yang tidak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban yang lebih bermoral.
Membangun peradaban yang lebih manusiawi dan berorientasi untuk meninggikan harkat-martabat manusia pada posisi yang elegan, terhormat dan human being, adalah tujuan sebenarnya dari belajar. Sebagai subjek belajar, manusia seharusnya mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan berarti, dalam belajar. Dan untuk itu, belajar tidak identik dengan buku, kertas kerja, laporan, sekolah dan hal lain yang baku, tetapi lebih kepada pengalaman.


Idealkah? Jawabnya bisa optimistik bisa pula pesimistik. Tetapi ini adalah tantangan baru ketika kita melihat gagalnya pendidikan (dan prosesnya) selama ini. Kita gagal memperbaiki dunia karena dunia semakin memburuk secara sosio-politik-ekonomik; kita gagal memperbaiki peradaban karena dunia semakin kacau dan kejam; kita tidak menemukan kaum terdidik yang bermoral karena kerusakan sistem justru dimulai oleh kaum terdidik; kita gagal membangun sistem pendidikan yang human oriented karena kita hanya membangun manusia-manusia mekanis dan kaku; Maka kita perlu membangun suatu conter culture. Kita harus "melompat" ke suatu pemikiran yang menempatkan manusia pada posisi yang sebenarnya (the real track). 
Dr. J. Verkuyl--seorang tokoh pendidikan--mengatakan bahwa belajar dan prosesnya sebenarnya tidaklah semata-mata hanya semakin menambah pengetahuan dan informasi. Tidak cukup dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tahu menjadi lebih tahu. Bahkan dunia hewan pun mengenal proses demikian. Manusia, berbeda jauh. Ia mengatakan bahwa ketika proses belajar terjadi, manusia--sebagai pembelajar--harus mengalami perubahan yang lebih menunjukkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang unik : pembentukan karakter. 
Belajar, berarti masuk ke dalam "dunia" yang khas, dimana seharusnya seseorang menjadikan apa yang dibaca, apa yang dialami, dimengerti, dianalisis, dikonfirmasikan, dan dipahami, menjadi nilai-nilai baru yang digunakan untuk perubahan perilaku. Bacaan, bahkan tumpukan buku--dan terlebih pengalaman-pengalaman dalam kehidupan--adalah "belajar" yang sesungguhnya, disediakan untuk menjadikan manusia itu lebih bernilai. Bernilai dan dihargai sebagai manusia yang berkarakter sebagai manusia. Ke sanalah seharusnya belajar itu diarahkan. Belajar, baik dengan apa yang tertulis dan yang tidak tertulis-berarti menjadikannya hidup-dilakukan, dan tidak terbatas dalam informasi. Pengetahuan seharusnya berjalan sejajar dengan perubahan hidup. Pengetahuan mengenai kehidupan harus berbenturan dengan nilai-nilai yang ada dan menguatkan pemahaman mengenai apa yang lebih benar. Dan untuk itu perlu latihan belajar yang terus menerus (on going process) dan sungguh-sungguh, sebab semuanya ini permasalahan mengenai kehidupan. 
Ketika semua-masing-masing pembelajar--mengetahui bahwa sedemikian dalamlah pengertian belajar ini harus dicapai, maka mereka akan masuk dalam suatu komunitas peradaban yang baru. Komunitas yang sepakat bahwa penghargaan atas harkat dan martabat manusia dijamin akan dijaga dan dikembangkan sedemikian rupa. Komunitas yang menghargai nilai-nilai luhur manusia dan membangun karakter manusia sesuai dengan apa yang seharusnya. 
Oleh karenanya, diperlukan suatu paradigma baru dalam memandang semuanya ini (baca: belajar). Dan diperlukan suatu ambisi baru untuk mewujudkan semuanya ini. Kita membutuhkan para relawan-relawan yang hadir dan membangun counter culture (meminjam istilah John Stott) terhadap peradaban yang semakin jauh dari penghargaan terhadap diri, masyarakat dan bangsa. Kita juga membutuhkan suatu tekanan dan sistem sosial yang kondusif bagi proses pembelajaran ini. Kita butuh suatu komitmen serta political will dari lebih banyak elemen di masyarakat untuk mendukung perubahan progresiv ini. Dan terlebih lagi, kita membutuhkan lebih banyak orang lagi untuk membangun suatu aliansi bersama dan bergandengan tangan membangun peradaban. 
*) Fotarisman Zaluchu, alumni FKM USU dan alumni Program Pascasaraja USU. Bekerja sebagai peneliti dan trainer komunikasi interpersonal di Medan.


Baca Selengkapnya...

Logika Bengkok

Oleh AM Lilik Agung
Media Indonesia - Komunikasi Bisnis
SEORANG kawan bernama Andrias Harefa dalam berbagai forum sangat suka menyitir pendapat Larry Ellison. Larry, bos Oracle, pada bulan September 2000 diundang oleh Yale University untuk memberi sambutan wisuda sarjana. Kata Larry, seperti disitir Harefa ``Saya berbicara di forum ini bukan untuk Bapak-Ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Atau kepada mahasiswa-mahasiswa yang duduk di depan saya. Saya berbicara untuk mahasiswa yang berdiri di ujung sana.`` Bapak-Ibu yang dimaksud Larry adalah para guru besar Universitas Yale. Sedang mahasiswa yang tepat di depannya adalah mahasiswa yang hendak diwisuda. Sedangkan kerumunan mahasiswa yang berdiri di ruang belakang merupakan mahasiswa yang masih kuliah.
``Universitas adalah lembaga yang membunuh kreativitas secara sistematik. Kalau Anda ingin sukses, cepat tinggalkan bangku kuliah. Belajarlah sendiri. Lahaplah buku-buku. Otak-atiklah ilmu pengetahuan. Jangan kuliah!`` kata Larry Ellison mantap. ``Dan Anda yang mau diwisuda, gaji Anda besok tidak lebih dari US$200.000. Lebih dari itu, yang menggaji Anda adalah orang-orang yang drop out kuliah.``
``Saya tidak sedang membual. Tapi lihatlah fakta. Siapa orang yang paling kaya sedunia? Bill Gates. Dia drop out kuliah. Yang terkaya nomor dua? Saya, Larry Ellison. Saya juga tidak lulus kuliah. Terkaya ketiga? Paul Allen, manusia yang tidak jelas kuliahnya. Terkaya keempat? Michael Dell. Apakah Dell lulus kuliah? Tidak. Jadi kalau ingin sukses, jangan kuliah!`` Gemparlah Universitas Yale dan jagat pendidikan tinggi seluruh dunia lantaran ucapan Larry.


Bill Gates, Larry Ellison, Paul Allen, Michael Dell memang manusia-manusia fenomenal. Dalam usia yang belum genap 40, mereka sudah menjadi orang-orang terkaya dunia. Kekayaan Bill Gates ditaksir sebesasr US$53 miliar, Larry Ellison US$52,1 miliar, sedangkan Paul Allen dan Michael Dell tak jauh dari US$50 miliar. Mereka manusia yang tak lulus kuliah. Namun perusahaan milik mereka banyak mempekerjakan manusia-manusia terbaik lulusan universitas terbaik. Apakah sukses bisnis harus dilalui dengan jalan drop out kuliah?
Sukses bisnis memang tidak selalu ekuivalen dengan sukses pendidikan. Banyak orang yang terbatas pendidikannya, namun sukses berbisnis. Lantas bukan berarti kalau ingin sukses berbisnis harus berhenti kuliah. Pernyataan Larry Ellison memang terlalu provokatif. Benar dia dan kawan-kawannya tidak lulus kuliah. Namun harus pula diingat, hampir seluruh program dan teknologi yang dipakai perusahaan mereka hasil riset universitas terkemuka di Amerika, terutama MIT University.
Di sisi lain banyak kepongahan dilakukan lembaga pendidikan tinggi dalam menyikapi perkembangan bisnis mutakhir. Salah satu kepongahan itu ditunjukkan dengan ketertinggalannya kurikulum pendidikan tinggi beserta buku-buku literatur yang nyaris masih terpukau pada kondisi bisnis tahun 80-an. Demikian pula dengan para pengajarnya yang lebih suka konsep-konsep lama bisnis ketimbang mempelajari apalagi mencipta konsep-konsep bisnis baru. Akibat kepongahan lembaga pendidikan tinggi, hasil akhir bernama manusia sarjana ikut-ikutan pongah.
Gelar akademis yang disandangnya seakan-akan menjadi jaminan utama untuk sukses mengelola bisnis. Padahal, berapa banyak manusia bergelar sarjana ekonomi manajemen yang mampu menjadi manajer andal?
Kritikan Larry Ellison terhadap kualitas pendidikan tinggi memang pantas dicermati. Namun anjuran Larry agar meninggalkan bangku kuliah, patut ditanggalkan. Bangku kuliah, walaupun kedodoran mengejar kemajuan peradaban, masih memberikan kepada peserta didiknya untuk berpikir metodis, rasional, dan terstruktur. Berpikir metodis, rasional, dan terstruktur, hal demikian yang kini dijalankan oleh pelaku-pelaku bisnis sukses. Apalagi dengan ikut `campur tangannya` teknologi informasi di dalam bisnis yang menuntut berpikir rasional.
Larry Ellison yang tinggal di Amerika mengkritik sistem pendidikan bisnis di Amerika, walaupun pendidikan bisnis terbaik di bumi ini tetap Amerika. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kritikan Larry Ellison bila melihat sistem pendidikan bisnis di negeri kita. Dengan uang Rp 5 juta, kita dapat menyandang gelar MBA. Ditambah uang Rp 10 juta lagi, di depan nama kita tertempel gelar Dr. Sebuah jual-beli gelar yang kita yakini tidak ada dalam ilmu marketing mana pun.
Proses jual-beli memang lazim dalam kehidupan ini. Namun menjadi tidak lazim manakala produk dalam jual-beli ini berupa gelar. Terlebih lagi gelar-gelar tersebut berada dalam wilayah bisnis. Master of Business Administration (MBA) dan Magister Management (MM) merupakan gelar prestisius yang diharapkan penyandangnya mampu mengelola organisasi bisnis. Dalam kurikulum MBA dan MM tidak saja diajarkan strategi bisnis, tapi juga etika bisnis sehingga kelak bisnis yang ditangani etis dan profesional.
Logika bengkok sekarang banyak dipakai oleh manajer bisnis. Mereka ingin disebut profesional, sementara gelar-gelar yang disandangnya tidak profesional. Mereka ingin dipandang sebagai manusia terhormat, sementara tempelan gelarnya diperoleh tidak dengan cara terhormat. Mereka ingin disanjung sebagai manajer beretika, sementara gelar-gelarnya jauh dari prinsip-prinsip etika akademik.
Gelar yang merupakan buah dari proses pendidikan, sekali lagi, tidak ekuivalen dengan kesuksesan bisnis. Alangkah malangnya manajer-manajer yang sekarang berburu gelar, sementara cara berburunya tidak lazim. Lebih malang lagi bila gelarnya dengan bangga ditempel di kartu namanya, sementara cara kerjanya jauh dari sikap-sikap profesional.
Profesionalisme bisnis tidak diukur dengan berderet-deret gelar yang tertempel di namanya. Profesionalisme bisnis ukurannya sederhana; mampu membuat untung perusahaan, meningkatkan kesejahteraan karyawan, bertanggung jawab sosial, ikut memajukan negara yang semua itu dibingkai melalui cara kerja etis. Titik!
*)Penulis adalah praktisi bisnis, mitra Institut Darma Mahardika, beralamat di www.mahardika21.com


Baca Selengkapnya...